
Musim Hujan Datang, Banjir Kembali Menerjang
Agama | 2025-03-12 16:41:29
Wilayah Jakarta dan Bekasi dilanda banjir mengakibatkan ribuan rumah terendam dan melumpuhkan aktifitas masyarakat. Menurut laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, total 56 desa dan 19 kecamatan terdampak banjir. Total 87.282 jiwa terdampak banjir di Kabupaten Bekasi. Saat ini sebanyak 48.207 jiwa mengungsi di 14 titik pengungsian (cnn 09/03/2025).
Bencana banjir yang terus berulang bahkan cenderung kian parah, mengindikasikan ada yang salah dalam tata kelola lingkungan. Banjir tidak lagi sekedar disebabkan oleh kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan atau mengkambinghitamkan curah hujan yang tinggi sebagai satu-satunya penyebab banjir yang seolah tak mampu dibendung. Jika ditelisik lebih jauh, banjir yang menerjang wilayah Jabodetabek maupun wilayah lainnya di Indonesia merupakan ulah tangan-tangan manusia yang serakah.
Bencana yang terjadi bukan sekadar permasalahan teknis, tapi adanya masalah sistemis. Kebijakan berparadigma kapitalistik menghantarkan pada konsep pembangunan yang abai pada kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia. Mitigasi yang lemah, banjir tidak tercegah dan rakyat pun hidup susah.
Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan bahwa telah terjadi kerusakan hutan di daerah hulu sungai. Kerusakan akibat alih fungsi lahan di Hulu DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane. Kemampuan tanah menyerap air berkurang sehingga meningkatkan resiko run-off (aliran permukaan) dan mempercepat terjadinya banjir. Catatan FWI (2025) menyebutkan deforestasi atau kerusakan hutan alam di ketiga DAS Ciliwung, Kali Bekasi, dan Cisadane sudah mencapai 2300 hektare sepanjang 2017 sampai 2023 atau setara dengan 850 kali luas lahan Gedung Sate di Bandung (republika 11/03/2025).
Tanah yang semestinya menjadi area resapan air hujan dialihfungsikan dengan dalih ekonomi. Para pemilik modal berlomba meraup keuntungan dengan melakukan pembangunan pemukiman, villa, restoran maupun tempat wisata. Hutan yang semestinya mampu menahan air agar tidak langsung ke sungai, telah semakin berkurang luasnya.
Longgarnya peraturan dan perizinan dari pemerintah turut berperan pada kerusakan alam yang terjadi. Pembangunan dilakukan secara masif oleh pemilik modal tanpa memperhatikan AMDAL. Perizinan hanya menjadi formalitas belaka. Dengan dalih untuk pemasukan daerah, area resapan air disulap menjadi area komersil. Tanpa sadar, ulah manusia inilah yang telah mengundang datangnya bencana.
Pencegahan dan penanganan banjir diperlukan untuk meminimalisir dampak bencana. Namun terlepas dari hal-hal teknis, banjir juga perlu ditangani secara sistemis. Paradigma kapitalisme-lah yang menjadi akar masalah penyebab terjadinya banjir. Kemungkinan bencana kembali berulang jika kapitalisme masih diterapkan.
Pembangunan harus dilakukan dengan paradigma yang tepat sehingga memudahkan kebutuhan manusia tanpa harus merusak alam. Islam mampu memberikan arahan yang tepat pada negara dalam melakukan pembangunan.
Islam menempatkan pemimpin atau penguasa sebagai pelayan bagi rakyatnya. Maka penguasa dalam hal ini negara, bertanggung jawab untuk menjamin kehidupan dan keamanan rakyatnya dan terhindar dari bencana. Upaya pencegahan dan penanganan akan dilakukan dengan optimal.
Untuk upaya pencegahan, setiap individu, masyarakat bahkan para penguasa akan dibekali pemahaman yang kuat tentang wajibnya menjaga kelestarian alam sebagai bentuk tanggung jawab di hadapan Allah swt. Allah swt telah menetapkan manusia hidup di bumi ciptaan-Nya maka manusia wajib untuk menjaganya.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A’raf : 56)
Kelestarian alam perlu dijaga untuk kelangsungan hidup manusia. Para ahli akan dilibatkan dalam proses pembangunan untuk menganalisis dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Area hutan, dataran tinggi dan daerah aliran sungai yang dinilai penting kelestariannya, maka akan dijaga oleh negara dan tidak akan menerbitkan izin pembangunan di area tersebut.
Negara akan memberikan sanksi yang tegas pada pelaku pengerusakan alam. Tidak ada kompromi atau ‘jual beli’ dalam menerapkan aturan. Individu, masyarakat dan negara sama-sama menjaga alam sebagai bentuk tanggung jawab di hadapan Sang Pencipta Allah swt.
Dengan menerapkan Islam sebagai asas dalam konsep pembangunan, kebutuhan manusia tetap bisa dipenuhi tanpa harus menghilangkan hutan atau merusak kelestarian alam. Demikian halnya dengan eksplorasi sumber daya alam, negara tidak akan meletakkan keuntungan sebesar-besarnya hingga berujung eksploitasi dan kerusakan alam.
Mitigasi bencana yang kuat akan diterapkan untuk meminimalisir dampak bencana. Pemetaan wilayah yang rentan banjir maka akan dihindari untuk dibangun pemukiman. Bila dibutuhkan maka akan dibangun waduk atau bendungan. Negara akan mempersiapkan jalur evakuasi yang memadai jika terjadi bencana. Masyarakat akan dibekali ilmu mitigasi bencana. Selain itu, Negara dengan pendanaan dari Baitul Maal akan mendukung para ilmuwan untuk menemukan alat dan teknologi yang bisa dipergunakan untuk mencegah banjir.
Sejatinya bencana yang hadir adalah teguran dari Allah swt. Dalam Al-Qur’an Allah swt telah memperingatkan,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41).
Bencana banjir bisa dicegah dengan menerapkan aturan-aturan yang bersumber dari Allah swt. Hanya dengan menerapkan Islam secara sempurna banjir bisa teratasi.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.