Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zahro Al-Fajri

Berantas Korupsi dengan Islam

Agama | 2025-03-06 16:18:42
Sumber gambar: detik com

Kasus korupsi terus berulang. Belakangan terbongkar korupsi besar yang terjadi di Pertamina dengan nilai fantastis. Masyarakat semakin geram dan semakin tidak percaya akan pemerintah.


Kasus korupsi di Indonesia memang menjadi momok yang terus saja terjadi tanpa solusi. Berulang kali masyarakat ingin percaya namun terus dibohongi. Pemerintah yang seharusnya menjadi wakil rakyat malah sering kali membodohi rakyat.


Korupsi bukan hanya terjadi di badan usaha milik negara, tetapi juga sering terjadi di kursi dewan rakyat. Bahkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi masuk nominasi sebagai finalis tokoh terkorup 2024 versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Korupsi seakan hal yang telah menjadi rahasia umum di kursi pemerintahan.


Hal ini akan terus berulang dalam sistem sekuler kapitalis. Karena dalam sistem ini tujuan hidup manusia hanya mencari materi semata, agama hanya dipakai dalam urusan ritual sedangkan dalam kehidupan agama diabaikan. Sehingga saat menduduki jabatan pemerintahan, tetap keuntungan yang akan dicari. Apalagi dalam sistem demokrasi, saat ingin dipilih rakyat, para calon pejabat harus menggelontorkan dana begitu banyak untuk meraih suara rakyat. Modalnya pun banyak yang berasal dari pengusaha, sehingga nantinya saat menjabat yang dipikirkan hanyalah balik modal dan balas budi ke pengusaha.


Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Islam berpandangan bahwa kehidupan harus mengikuti aturan Allah SWT baik ramah individu, masyarakat, sampai negara. Semuanya harus sesuai dengan Islam.


Pemerintah dalam Islam harus menjalankan aturan Islam dalam kehidupan. Jabatannya adalah akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR Muslim)


Mindset ini yang harus selalu hadir dalam benak pemimpin dalam Islam. Hal ini bisa terwujud saat kehidupan dan sistem pendidikannya sesuai dengan Islam. Sejak awal menikah, mindset pernikahan adalah melahirkan generasi Sholeh dan sholehah. Sehingga sejak dalam kandungan hingga buaian anak terus dikenalkan tentang Rabbnya dan tujuan hidupnya. Saat mereka tumbuh, mereka semakin kuat keimanan dan ketakwaannya karena keluarga terus diliputi suasana keislaman.


Masyarakat juga harus dipenuhi dengan suasana Islami yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaatan. Saat terjadi hal yang tidak sesuai hukum Syara', masyarakat akan melakukan kontrol sosial.
Negara pun hadir untuk menerapkan syari'at Islam dalam kehidupan. Membangun pendidikan atas dasar Islam dengan tujuan melahirkan generasi beriman dan bertakwa serta ahli di bidang keilmuan yang akan bermanfaat bagi masyarakat. Negara juga akan mencegah segala pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam masuk ke tengah masyarakat melalui kontrol media. Saat terjadi pelanggaran hukum Syara' yang fatal akan ditegakkan sistem sanksi sesuai syariat.


Korupsi jelas haram dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang telah kami ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji atau upah) maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah ghulul (pengkhianatan, korupsi, atau penipuan).” (HR Abu Dawud)
Korupsi merupakan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. Dalam hukum Islam, tindakan khaa’in tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) karena definisi mencuri adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). Sedangkan khianat bukanlah tindakan seseorang mengambil harta orang lain, melainkan tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).


Allah Taala berfirman, “Barang siapa yang mengambil harta khianat maka pada hari kiamat dia akan datang membawa harta hasil khianat itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dizalimi.” (QS Ali Imran [3]: 161).


Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan sebagaimana bagi pencuri (qath’ul yad) menurut kandungan QS Al-Maidah ayat 38, melainkan takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknis hukuman mati itu bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89).


Dengan demikian akan lahir para penerus generasi bangsa yang amanah dan adil saat menjadi pemimpin rakyat. Mereka dengan penuh rasa takut mengemban amanah dan senantiasa berhati-hati dalam menjalankan amanah sebagai pelayan dan pemimpin di tengah masyarakat. Hukum Syara' akan berusaha mereka tegakkan dengan seadil-adilnya. Melayani rakyat sesuai syariat karena dasar politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat sesuai dengan syariat.


Rasulullah meneladankan bagaimana seorang pemimpin harus adil dan senantiasa amanah. Beliau senantiasa berhati-hati dalam memegang amanah dan hidup dalam kesederhanaan. Beliau, misalnya, biasa tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata,
مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia, Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)


Khalifah selanjutnya pun menunjukkan sikap yang sama. Khalifah Abu Bakar ra., hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitulmal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari. Menjelang wafat, beliau berwasiat agar mengembalikan harta dari Baitumal itu jika ada kelebihannya.
Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Imam Ali ra. Khalifah Umar ra. menjawab, “Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada hari kiamat. Tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum muslim.” (As-SSamarqandi, Tanbîh al-Ghâfilîn, hlm. 383-384).


Dengan penerapan sistem secara kaffah, lahirlah generasi dengan integritas tinggi. Mengemban amanah karena kecintaan dan ketakutannya kepada Allah SWT. Korupsi mampu diberantas sampai akarnya.


WaAllahu'alam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image